SUKU BADUY
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu
kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau
"orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda
dialek a–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan
tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Menurut kepercayaan yang mereka
anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh
dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan
dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam
dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda
dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara
sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup
minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang
sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar
Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat
pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis
perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah
pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran
Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga
dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai
ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam
di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para
pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang
prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk
tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak
(baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di
daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang
mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu
siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi
perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang
yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu
laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para
wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan masyarakat Kanekes
yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek
moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh
agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan
sesedikit mungkin: “Lojor teu Meunang Dipotong, Pendek teu meunang
disambung.(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Objek kepercayaan terpenting bagi
masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap
paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan
pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan
dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa
anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut.
Comments
Post a Comment